Selasa, Desember 25, 2012

Ucapan "Selamat Natal" menurut Dr. Quraish Shihab


Membumikan Al-Quran
oleh: Dr. M. Quraish Shihab

Selamat Natal Menurut Al-Qur'an
    Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam
    bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau
    mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.
    Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak
    sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma
    ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.
    Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak
    bicara.'"
   
    "Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk.
    Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,"
    demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
    gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya
    menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang
    bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah
    yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta
    mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa:
    "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku
    pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari
    ketika aku dibangkitkan hidup kembali."
          

Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian,  Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi  mulia  itu,  Isa a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi  dan  rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. Juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s".

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas  kemampuan kita,  atau batas yang digariskan oleh panutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada  juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang membawa kasih, "Kasihilah seterumu dan do’akan yang menganiayamu". Muhammad  saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu”. Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena
itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia", sedangkan Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu". Keduanya dating membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa  anak  Jailrus  yang  sakit
Telah mati, Al-Masih yang  menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur". Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak
mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seorang". Keduanya datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -- dhu'afa' dan al-mustadh'affin -- dalam  istilah Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata  Sepakat)  yang  ditawarkan  Al-Quran  kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa  salahnya mengucapkan “selamat natal”, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang  telah mengabadikan selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Di sisi lain, marilah kita  menggunakan kacamata yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah,  bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan  kesalahpahaman, sampai
Dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata "Allah", misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran ketika pengertian semantiknya yang  dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata  yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad)  Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan  kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil
pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan  menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan".

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri
Perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar  kepada  pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih,  satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin!

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada   mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya  sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi  dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya  larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan
dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi social dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan    atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan   dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang   tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal"  sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita
Dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada  hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.


MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

2 komentar: