A. Setting Historis Biografi al-Alusi
Nama lengkap beliau adalah Abu Sana’ Syihab ad-Din al-Sayyid Mahmud
Afandi Alusi. Lahir hari Jum’at tanggal 14 Sya’ban 1217 H di daerah Kurkh,
Irak. Nisbat Alusi merujuk pada daerah di dekat sungai Eufrat, antara Baghdad
dan Syam. Ketika usia beliau langsung di bombing oleh orang tuanya sendiri,
yaitu Syaikh al-Suwaidi, berguru juga kepada Syaikh al-Naksabandi tentang
tasawuf sehingga wajar dalam penafsiran beliau menggunakan prespektif—sufistik
sebagai metode menguak makna batin.
Beliau sangat dkenal dhabith dan brilian otaknya. Sejak usia
13 tahun beliau sudah aktif dalam belajar dan menulis, bahkan beliau tidak ada
perasaan bosan atau malas untuk belajar. Sebagaimana ungkapan beliau, “Aku
tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepentingan-kepentingan
kekayaan dan perempuan cantik.” Beliau diangkat menjadi mufti pada tahun1248
setelah sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjaniyyah.
Namun, tahun 1263 beliau meninggalkan jabatan dan memilih sibuk menyusun tafsir
al-Qur'an dan kemudian dikenal dengan Tafsir Ruh al-Ma’ani.
Setelah menyelsaikan kitab tafsir ini, kemudian beliau menunukkan
kitab tafsir ini kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapat apresiasi luar biasa.[1]
Gelar hujjatul udaba disandangkan kepada al-Alusi karena beliau relatif
sangat produktif dalam menelorkan karya-karya kitab. Kita bisa melihat Khasiyah
‘alal Qatr, Syarh al-Salim dalam ilmu logika, al-Ajwibah al-‘Iraqiyah
‘an As’ilah al-Lahoriyyah, al-Ajwibah al-‘Iraqiyah ala as’ilah al-‘Iraniyah,
Durrah al-Ghawas fi awham al-Khawasy, al-Nafaqat al-Qudsiyah fi adab al-bahts
ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur'an al-‘Adzim wa al-Sab’I al-Masani. Dan kitab
yang disebut terkahir ini adalah kitab yang paling popular yang dikenal dengan
kitab Tafsir Ruh Al-Ma’ani.
Akhirnya beliau menutup usia
pada tanggal 25 Dzulhijjah 1270 H dalam usia 53 tahun. Beliau dimakamkan di
dekat makam Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, tokoh sufi yang terkenal di kota Kurkh.
B. Latar
Belakang Penyusunan dan Metodologi Penafsiran
Kesan
dalam penulisan kitab tafsir ruh al-Ma’ani ini terbilang agak mistik. Dalam
mimpinya yang beliau alami pada malam Jum’at bulan Rajab 1252 H, beliau disuruh
oleh Allah untuk melipat langit dan disuruh memperbaiki kerusakan-kerusakan
yang ada padanya. Dalam mimpi tersebut beliau seolah mengangkat satu tangan ke
langit dan tangan yang lain ke bumi, namun mimpi tersebut terputus. Mimpi
tersebut memberikan isyarat bahwa beliau harus menulis kitab tafsir. Dalam
pernafsirannya Alusi menggunakan metode Tahlili, yakni berusaha
menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan baik
segi bahasa, nasikh mansukh dan lain-lain. Mengenai sumber panafsiran, beliau
memadukan sumber ma’tsur dan al-Ra’yi artinya riwayat dari nabi, sahabat,
tabi’in tentang penafsiran al-Qur'an dan ijtihad dirinya dapat diakukan secara
bersama-sama selama dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
Salah
satu pendekatan yang beliau gunakan adalah metode sufistik, disamping
juga menggunakan metode bahasa.[2]
Adapun sistematika sebgai langkah metodis yang ditempuh, beliau langsung
menjelaskan kandungan makna ayat demi ayat yang beliau tafsirkan. Dalam
menganalisis, terkadang alusi menyebutkan asbab al-Nuzul lebih dulu dan kadang
pula beliau langsung mengupas dari segi gramatikalnya lalu mengutip riwayat
hadis atau qaul tabi’in.
تفسير الألوسي (23/ 191، بترقيم الشاملة آليا)
{ بِرَبّ الناس } أي مالك أمورهم
ومر بيهم بإفاضة ما يصلحهم ودفع ما يضرهم وأمال الناس هنا أبو عمرو والدوري عن الكسائي
وكذا في كل موضع وقع فيه مجروراً .
تفسير الألوسي (1/ 352، بترقيم الشاملة آليا)
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الذين اعتدوا مِنكُمْ فِى السبت
} اللام واقعة في جواب قسم مقدر ، و عَلِمَ عنا كعرف فلذلك تعدت إلى واحد ، وظاهر هذا
أنهم علموا أعيان المعتدين ، وقدر بعضهم مضافاً أي اعتداء الذين ، وقيل : أحكامهم ،
و { مّنكُمْ } في موضع الحال ، و ( السبت ) اسم لليوم المعروف وهو مأخوذ من السبت الذي
هو القطع لأنه سبت فيه خلق كل شيء وعمله ، وقيل : من السبوت وهو الراحة والدعة . والمراد
به هنا اليوم والكلام على حذف مضاف أي في حكم السبت لأن الاعتداء والتجاوز لم يقع في
اليوم بل وقع في حكمه بناء على ما حكي أن موسى عليه السلام أراد أن يجعل يوماً خالصاً
للطاعة وهو يوم الجمعة فخالفوه وقالوا : نجعله يوم السبت لأن الله تعالى لم يخلق فيه
شيئاً فأوحى الله تعالى إليه أن دعهم وما اختاروا ثم امتحنهم فيه فأمرهم بترك العمل
وحرم عليهم فيه صيد الحيتان فلما كان زمن داود عليه السلام اعتدوا وذلك أنهم كانوا
يسكنون قرية على الساحل يقال لها أيلة . وإذا كان يوم السبت لم يبق حوت في البحر إلا
حظر هناك وأخرج خرطومه وإذا مضى تفرقت فحفروا حياضاً وأشرعوا إليها الجداول وكانت الحيتان
تدخلها يوم السبت بالموج فلا تقدر على الخروج لبعد العمق وقلة الماء فيصطادونها يوم
الأحد ، وروي أنهم فعلوا ذلك زماناً فلم ينزل عليهم عقوبة فاستبشروا وقالوا : قد أحل
لنا العمل في السبت فاصطادوا فيه علانية وباعوا في الأسواق ، وعلى هذا يصح جعل اليوم
ظرفاً للاعتداء ، ولا يحتاج إلى تقدير مضاف ، وقيل : المراد بالسبت هنا مصدر سبتت اليهود
إذا عظمت يوم السبت وليس بمعنى اليوم فحينئذ لا حاجة إلى تقدير مضاف إذ يؤول المعنى
إلى أنهم اعتدوا في التعظيم وهتكوا الحرمة الواجبة عليهم
Al-Alusi
sering mengutip pendapat para mufasir baik salaf maupun khalaf sebelumnya dan
memilih pendapat yang dianggap tepat oleh beliau. Dalam setiap tafsir tidak
akan terlepas dari cerita-cerita israiliyat, namun beliau sangat selektif
memilih cerita-cerita tersebut. Hal ini disebabkan karena beliau sangat dekat
dengan ulama-ulama hadis dimana mereka sangat berhati-hati dalam menerima
periwayatan hadis. Kalaupun beliau menyisipan hadis maudlu dalam tafsirnya itu
bukan untuk mendukung penafsiran, namun untuk menunjukkan bahwa hadis tersebut
tidaklah benar.
C. Al-Alusi
dan Masalah Kauniyah
Menurut
Dr. Husein al-Dzahabi bahwa beliau memperhatikan tafsir karya al-Alusi bahwa
dalam tafsirnya itu al-Alusi juga sempat membicarakan tentang masalah-masalah Kauniyah.
Al-alusi juga menyebutkan pembicaraan Ahli Hai’ah dan Ahli Hikmah. Beliau
meyakini apa yang diyakini dan mengacaukan hal yang tidak dianutnya.
Untuk contohnya bisa dilihat dalam tafsirnya pada Q. S. Yasin ayat
38-40 dan juga Q.S. al-Thalaq ayat 12. Dalam contoh yang kedua itu dapat
terlihat perluasan wilayah daripada contoh yang pertama.[3] Di
sana juga dapat terlihat penjelasan tentang masalah Kauniyah walaupun
banyak juga penjelasan dari segi kebahasaan atau Nahwiyah-nya.[4]
D. Sikap
Tawaqquf Al-Alusi dalam Masalah Israiliyat
Al-Alusi
adalah termasuk orang yang sangat mengecam terhadap Israiliyat dan berita-berita dusta yang terkadang
dianggap sahih oleh para mufassir dalam kitab tafsirnya. Sebagai contoh dalam
tafsir surat al-Maidah ayat 12
*
ôs)s9ur xyzr& ª!$# t,»sWÏB û_Í_t/ @ÏäÂuó Î) $uZ÷Wyèt/ur ÞOßg÷YÏB óÓo_øO$# u|³tã $Y7É)tR ……
Pada
tafsir ayat di atas dapat kita temukan kisah yang sangat mengagumkan dari ‘Auj
bin ‘Anaq, diriwayatkan dari al-Baghawi, tetapi setelah kisah itu selesai
al-Alusi berkata: “Kisahnya ‘Auj sudah terkenal di kalangan masyarakat umum,
dalam fatwanya al-‘Allamah Ibnu Hajar berkata: al-Hafidz al-‘Imad Ibnu Katsir
berkata: “Kisah ‘Auj dan semua yang diceritakan darinya itu tidak ada dasarnya,
itu adalah sesuatu yang dibuat-buat oleh ahli kitab dan itu sama sekali tak
pernah ada pada masa Nabi Nuh a.s.[5]
Dalam
tafsirnya, al-Alusi juga menyebutkan qira’at-qira’at tetapi tidak dijelaskan
tentang ke-mutawatir-annya. Selain menyebutkan qira’at, beliau juga
menyebutkan munasabah antara surat, munasabah antar ayat, dan
juga Asbabun Nuzul.[6]
E. Panadangan
Para Ulama terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani
Dalam
kitab tafsir wa Al-Mufassirun, adz-Dzahabi mengatakan bahwa Ruh
al-Ma’ani dipandang oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari
(tafsir yang mencoba menguak dimensi makna bathin berdasarkan isyarat atau
ilham dan takwil sufi).[7]
Namun lebih lanjut adz-Dzahabi menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani karya
Alusi ini termasuk dalam kategori tafsir bi al-Ra’yi al-mahmud (tafsir
beradasar ijtihad yang terpuji), bukanlah tafsir yang bercorak isyari. Pendapat
ini didukung oleh penulis buku Studi Kitab Tafsir, “Menyuarakan Teks
Yang Bisu” dengan pernyataannya : “Maksud utama dari penulisan tadsir bukan
untuk menafsirkan al-Qur'an berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan
al-Qur'an berdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa
mengabaikan riwayat yang sahih. Meskipun
tidak dipungkiri, bahwa beliau
(al-Alusi) juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya
relative lebih sedikit diabanding dengan yang bukan isyari.” [8]
Ali
al-Shabuni dalam kitabnya al-Thibyan fi ulum al-Qur’an menyatakan bahwa al-Alusi
memang memberi perhatian kepada tafsir isy’ari segi-segi balaghah dan bayan.
Apresiasi Al Shabuni menganggap tafsir al alusi sebagai tafsir yang paling baik
untuk dijadikan sebagai rujukan kajian tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah, dan
isyarah. Kemudian adz dzahabi dan Abu Syuhbah menuturkan bila tafsir ruh
al-ma’ani dapat menghimpun sebagian besar mufassirin dengan menyertakan kritik
yang tajam dan mentarjih pendapat-pendapat yang beliau kutip. Ada lagi Rasyid
Ridla sebagaimana dikutip Quraisy Syihab menilai tafsir al-Alusi sebagai mufassir
terbaik dikalangan ulama mutaakhirin, karena keluasan pengetahuan
pandangan-pandangan ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Kendati demikian, al-Alusi
tak pelak mendapat kritikan antara lain dituduh memplagiat pendapat ulama
sebelumnya tanpa merubah redaksi yang diplagiatnya.
F. Corak
Tafsir Ruh al-Ma’ani
Al-Alusi mempunyai corak tersendiri dalam karya tafsirnya dan
mempunyai nilai lebih daripada mufassir lain. Beliau menafsirkan ayat dengan
mendiskripsikan makna kemudian diteruskan dengan menemukan makna-makna khusus.
Dalam penafsirannya dimulai dengan penafsiran rasional-logis, lalu diikuti
penjelasan berdasarkan pendapat para ulama atau riwayat yang sahih. Sehingga
tafsirnya biasa dikatakan sebagai tafsir isyari (intuisi).
Corak
tafsir ini muncul sebagai perkembangan
penafsiran dikalangan sufi yang tidak dapat digolongkan secara pasti dalam
tafsir bil-ra’yi maupun bil-ma’tsur. Penafsiran al-Alusi dapat digolongkan pada
penafsiran sufisme yang penafsirannya dengan menggunakan rasa jiwa atau luapan
emosi. Karakteristik al-Alusi mirip dengan al-Ghazali yang menggunakan intuisi
pada beberapa bagian penafsirannya tetapi tidak melupakan logika dalam
memecahkan persoalan-persoalan agama.
Semoga Bermanfaat...!!!
[1]
Konon bentuk apresiasi di jaman dulu itu seorang penulis berhasil menulis
kitab, maka kitab tersebut akan ditimbang dan diberi penghargaan emas seberat
bobot kitab itu.
[2]
Menurut adz-Zahabi porsi sufistiknya relative sedikit.
[3]
Dr. Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm 305.
[4]
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam kitab Ruh al-Ma’ani.
[5]
Dr. Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm 307.
[6]
Dr. Husein al-Dzahabi, hlm 308.
[7]
Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir ….. hlm. 158
[8] Muhammad Yusuf, hlm. 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar