Selasa, Desember 25, 2012

Ucapan "Selamat Natal" menurut Dr. Quraish Shihab


Membumikan Al-Quran
oleh: Dr. M. Quraish Shihab

Selamat Natal Menurut Al-Qur'an
    Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam
    bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau
    mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.
    Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak
    sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma
    ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.
    Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak
    bicara.'"
   
    "Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk.
    Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,"
    demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
    gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya
    menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang
    bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah
    yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta
    mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa:
    "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku
    pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari
    ketika aku dibangkitkan hidup kembali."
          

Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian,  Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi  mulia  itu,  Isa a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi  dan  rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. Juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s".

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas  kemampuan kita,  atau batas yang digariskan oleh panutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada  juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang membawa kasih, "Kasihilah seterumu dan do’akan yang menganiayamu". Muhammad  saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu”. Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena
itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia", sedangkan Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu". Keduanya dating membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa  anak  Jailrus  yang  sakit
Telah mati, Al-Masih yang  menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur". Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak
mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seorang". Keduanya datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -- dhu'afa' dan al-mustadh'affin -- dalam  istilah Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata  Sepakat)  yang  ditawarkan  Al-Quran  kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa  salahnya mengucapkan “selamat natal”, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang  telah mengabadikan selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Di sisi lain, marilah kita  menggunakan kacamata yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah,  bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan  kesalahpahaman, sampai
Dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata "Allah", misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran ketika pengertian semantiknya yang  dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata  yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad)  Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan  kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil
pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan  menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan".

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri
Perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar  kepada  pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih,  satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin!

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada   mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya  sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi  dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya  larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan
dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi social dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan    atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan   dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang   tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal"  sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita
Dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada  hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.


MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

Senin, Desember 17, 2012

Kajian Kitab Rijal: Kitab Al-Kuna wa Al-Asma'


Al-Kuna Wa Al-Asma
Karya: Al-Imam Al-Hafidz Abi Basyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad Al-Daulaaby

  A.    Seputar Pengarang Kitab
Nama beliau adalah Al-Hafidz  Abu Basyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad Al-Daulaby Al-Anshory Al-Rayy Al-Nasikh. Dari daerah Ray. Dilahirkan pada tahun 224 H dan wafat di ‘Arj—sebuah daerah (jalan berbatu) antara Makkah dan Madinah—pada tahun  310 H.
            Al-Daulaby—ada juga yang membacanya sebagai Al-Duulaby namun menurut Al-Sam’ani pendapat pertama lebih Shahih—adalah penisbatan kepada al-Daulab, yaitu sebuah desa yang menjadi pusat kegiatan di Ray.
            Beliau belajar kepada Nadar, Harun bin Sa’id Al-Aily dan lainnya. Beliau juga mendapatkan hadis di Iraq dan Syam dan juga banyak meriwayatkan dari Muhammad bin Basyar dan Ahmad bin Abdul Jabbar Al-‘Atharidy.
            Diantara murid-murid beliau adalah Ibnu ‘Udi, Thabarany, Abu Bakr bin Muqry, Abu Bakr Al-Muhandis, Abu Hatim dan Ibnu Hibban Al-Basty.
            Musallamah bin Qasim berkata: “Ayahnya adalah seorang yang memiliki banyak pengetahuan, dan beliau tinggal di Daulab, Baghdad kemudian anaknya yaitu Muhammad, pergi mempelajari hadis dan belajar pada banyak ulama juga mendalami hadis kepada Abu Hanifah”
  B.     Seputar Kitab Al-Kuna Wal Asma’
1.      Muqaddimah
Di dalam kitab ini, tidak ditemukan Muqaddimah penulisnya. Hanya ada semacam pengantar singkat dari penerbit dan Tarjamah (Biografi) penulis yang sangat singkat sekali. Hanya memaparkan nama, tahun lahir dan wafat, beberapa guru dan murid, penilaiaan singkat dari Musallamah dan sebuah syair. Karya-karya yang disebutkan pun hanya dua: Al-Kuna wal Asma dan Al-Dzurriyyah Al-Thahirah.
2.      Isi Kitab
   Kitab ini berjumlah dua jilid. Jilid pertama adalah kitab yang memuat:
a.             Nama Rasul.
b.            Sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga.
c.             Menyebutkan nama shahabat yang lebih terkenal dengan kunyahnya (alif-ya).
d.            Menyebutkan kunyah shahabat yang lebih terkenal dengan namanya (alif-ya).
e.             Menyebutkan nama tabi’in dari alif sampai (ẓa/ظ) .
f.             Fihris (daftar isi khusus untuk kitab jilid pertama).
Jilid kedua adalah kitab yang memuat:
a.             Melanjutkan pembahasan kitab sebelumnya (Tabi’in dari huruf ‘ain sampai ya).
b.            Fihris ayat yaitu daftar isi ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini.
c.             Fihris hadis qauli yaitu daftar isi tentang hadis-hadis qauliyyah yang disebutkan dalam kitab.
d.            Fihris hadis fi’liy yaitu daftar isi tentang hadis-hadis fi’liyyah yang tercantum dalam kitab ini.
e.             Fihris kuna yaitu daftar isi tentang nama-nama kunyah yang termuat dalam kitab ini.
f.             Fihris syair dan rajaz yaitu fihris atau daftar isi yang menyebutkan tentang syair-syair dan rajaz-rajaz yang terdapat dalam kitab ini.
g.            Fihris umum (memuat daftar isi semua yang terdapat dalam kitab ini).

3.      Sistematika
Setelah melakukan pembacaan singkat, penulis menyimpulkan sistematika penulisan kitab ini:
1.      Mendahulukan nama Rasulullah dengan diikuti hadis-hadis yang berkaitan dengan hal itu (kunyahnya rasul dan sebagainya).
2.      Menyebutkan nama-nama shahabat:
   a.       Abu Bakar Siddiq ra.
   b.      Umar Bin Khatab ra.
   c.       Usman Bin Affan ra.
   d.      Ali Bin Abi Thalib ra.
   e.       Thalhah Bin Ubaidillah ra.
   f.       Zubair Bin Awaam.
   g.      Sa’ad bin Abi Waqqas.
   h.      Sa’id Bin Zaid.
   i.        Abdurrahman Bin Auf.
   j.        Abu Ubaidillah Bin Jarrah.
3.      Menyebutkan nama-nama shahabat yang terkenal dengan nama kunyahnya.
4.      Menyebutkan shahabat-shahabat yang lebih terkenal dengan namanya beserta menyebutkan kunyahnya.
5.      Menyebutkan nama tabi’in setelah selesai pembahasan shahabat.
6.      Menyertakan hadis atau riwayat yang menyebutkan kunyah shahabat dan tabiin yang disebutkan.

4.      Keunggulan dan Kekurangan Kitab

  a.       Keunggulan Kitab
Sebagaimana yang telah kita cermati dari beberapa kandungan dan sistematika yang digunakan oleh al-Daulabi dalam mengemas kitabnya dapat kita ambil beberapa keunggulan dari kitab ini, antara lain sebagai berikut:
a)      Disusun secara alfabetis sehingga memudahkan dalam pencarian nama shahabat atau rawi.
b)      Mengelompokkan nama-nama rawi atau shahabat yang memiliki kunyah yang sama dalam  sebuah sub-bab yang tetap menggunakan sistem alfabetis.
c)      Menyebutkan nama-nama yang akan dibahas dalam setiap bab.
d)     Memberi keterangan atau rujukan dalam bentuk footnote.
e)      Disertakan beberapa fihris atau indeks yang terdapat pada bagian akhir kitab sehingga memudahkan dalam pencarian.

  b.      Kekurangan Kitab.
Beberapa kekurangan kitab al-Kuna wa al-Asma’ menurut penulis adalah sebagai berikut:
a)      Tidak adanya mukaddimah dari pengarang serta pentahkik dari kitab ini, sehingga menyulitkan kita untuk mendapatkan imformasi yang lengkap dari kitab ini.
b)      Tidak semua rawi yang dipaparkan memiliki data yang lengkap, ada yang hanya menyebutkan nama dan kunyahnya saja.
c)      Baru mencakup kunyah yang berdasarkan abu saja.

Selasa, Desember 11, 2012

Studi Kitab Hadis: Sunan Ibnu Majah


A. Biografi Ibn Majah

Nama Ibn Majah menjadi terkenal dikalangan umat Islam setelah munculnya Kitab hadis Sunan Ibn Majah yang termasuk ke dalam kutub al-sittah. Nama lengkap Ibn Majah ialah Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Ibn Majah al-Rubay’iy al-Qazwiniy al-Hafiz. Al-Qazwiniy merupakan nama lain yang dinisbatkan kepada ulama yang lahir pada tahun 209 H/ 824 M ini, karena nama tersebut merupakan tempat dimana Ibn Majah tumbuh dan berkembang. Adapun nama asli Ibn Majah ialah Muhammad ibn Yazid dengan nama kuniyah Abu Abdullah.
Ulama yang terlahir pada masa pemerintahan Dinasti Abbasyiyah tepatnya masa kekhalifahan al-Makmun (198 H/813 M) ini meninggal pada usia 74 tahun. Lebih tepatnya meninggal pada hari selasa tanggal 22 Ramadhan tahun 273 H pada masa khalifah al-Muqtadir (295 H/908 M).
Sedikit sekali ditemukannya informasi mengenai Ibn Majah pada saat masih kecil dalam beberapa literatur yang ada. Sebagian kecil menceritakan mulainya Ibn Majah belajar di desa Qazwin pada masa kecil. Kebanyakan diinformasikan tentang keahlian yang digelutinya dalam hal penyusunan hadis. Ketekunannya dalam dunia hadis sudah terlihat ketika Ibn Majah berusia 15 tahun, yaitu dengan mencari guru ke berbagai daerah dan mendengarkan hadis-hadis secara langsung yang berlanjut cukup lama. Berkat kegiatan tersebut, menjadilah Ibn Majah sebagai ulama hadis yang dikenal oleh umat muslim pada masa itu sampai sekarang.
Telah dijelaskan sebelumnya, pada abad ke 3 hijriyah dan sebelumnya, para ulama mutaqaddimin telah menghimpun hadis-hadis Nabi saw yang tercecer di berbagai daerah. Kehadiran Sunan Ibn Majah dalam dunia Islam terjadi pada masa keemasan Islam, yaitu adanya pembukuan hadis secara besar-besaran. Begitu juga banyak hadis palsu atau maudhu’ yang disebarkan oleh kaum zindiq. Oleh karena itu, para ulama muhaddisin menyeleksi hadis-hadis secara ketat agar hadis maudhu’ terdeteksi, sehingga hal itu dikenal dengan ‘Ulum al-Hadis.
Dengan banyaknya daerah yang disinggahi oleh Ibn Majah dalam mencari hadis disamping memperoleh banyak ilmu, beliau dikenal sebagai petualang keilmuan. Berikut adalah daerah yang pernah beliau singgahi : Khurasan, Naisabur, serta kota lainnya seperti : al-Ray, Iraq, Baghdad, Kufah, Basrah, Wasit, Hijaz, Makkah dan Madinah. Dengan banyaknya daerah yang dikunjungi, otomatis banyak pula guru yang beliau ikuti, diantaranya ialah:
1)   Ali Ibn Muhammad al-Tanafasy dan Jubarah ibn al-Muglis (guru pertama).
2)   Mus’ab ibn Abdullah al-Zubairi
3)   Abu Bakar ibn Abi Syaibah
4)   Muhammad ibn Abdullah ibn Namir
5)   Hisyam ibn Amar
6)   Muhammad ibn Rumh
Mereka semua ialah guru-guru yang telah menyumbangkan banyak hadis, serta masih banyak guru-guru yang lain. Sedangkan murid-murid Ibn Majah yang mengambil banyak hadis dari beliau diantaranya ialah :
1)   Muhammad ibn Isa al-Abhari
2)   Abu Hasan al-Qattan
3)   Sulaiman ibn Yazid al-Qazwini
4)   Ibn Sibawaih.

B.   Penilaian Ulama Terhadap Ibn Majah
Kebanyakan dan bahkan semua ulama hadis lain dan ulama kritikus menilai positif terhadap kepribadian Ibn Majah dalam proses transmisi hadis. Berikut adalah beberapa penilaian para ulama terhadap Ibn Majah adalah Al-Mizzi menilai Ibn Majah sebagai orang yang alim. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan bahwa Ibn Majah dapat dipercaya, dapat dijadikan hujjah, banyak mengetahui hadis dan menghafalkannya. Maka dari itu, banyak hadis shahih yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, kecuali hadis-hadis yang membutuhkan penguat karena tidak ada dalam kitab hadis yang lain.

C. Kritik Terhadap Kitab Sunan Ibn Majah
Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abu Syu’bah bahwa diantara ulama yang mengkritik Sunan Ibn Majah adalah Al-Hafiz Abu faraj Ibnul Jauzi, beliau mengatakan bahwa dalam kitab Sunan Ibn Majah terdapat tiga puluh hadits yang tergolong hadits maudu’. Diantara tiga puluh hadits yang dikritik oleh Ibnu al-Jauzi disepakati oleh para ulama hadits. Akan tetapi kritik yang dilancarkan oleh Ibnu al-Jauzi mendapatkan bantahan dari Imam al-Suyuti sebagai salah satu pen-Syarah kitab Sunan Ibn Majah. Ungkapan yang lebih ekstrim dari ucapan Ibnu al Jauzi diatas adalah ucapan Al-Mizzi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abu Syu’bah dengan mengatakan bahwa “Semua hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendiri adalah da’if[1]. Kritik tersebut juga mendapat bantahan dari Al-Hafiz Syihabuddin al-Busairi al-Misri (wafat tahun 840 H) sebagaimana dikutip oleh Muhammad Mustafa Azami beliau membahas hadits-hadits tambahan (zawa’id) dalam Sunan Ibn Majah yang tidak terdapat dalam Kitab Kutub al Khamsah dan juga beliau melengkapi dengan menunjukan derajat hadits itu: ada yang termasuk dalam katagori hadits shahih, hasan, da’if atau maudu’[2].
          Akan tetapi, walaupun terdapat beberapa ulama yang mengkritik hadis Sunan Ibn Majah,  tetap saja Kitabnya masuk sebagai peringkat yang keenam dari kitab Induk Hadis, alasannya adalah karena Kitab Sunan Ibn Majah mempunyai kelebihan yaitu hadis tambahan (Zawaid) yang tidak terdapat di dalam kitab induk yang kelima juga termasuk di dalam al-Muwaththa Imam Malik, selain itu kitab Sunan Ibn Majah ini juga mempunyai sistematika penulisannya memberikan kemudahan bagi para peneliti hadis untuk mendapatkan apa yang ingin dicari. Itulah sebabnya setelah melalui proses panjang ulama mutaakhirin menempatkan Sunan Ibn Majah melengkapi jajaran Kutub al-Sittah sekalipun di nomor terakhir. Hal itu tidak lepas dari keberadaan 1339 hadits zawa’id yang kemudian menjadi bahan bermanfaat bagi pengembangan hazanah ilmu fiqih[3].
        Dapat dilihat juga beberapa sanjungan ulama yang tertuju kepada Ibnu Majah mengenai Kitab beliau, seperti Abu Zar`ah, Jalaluddin al-Suyuthi yang telah menyusun syarah beliau, Ibnu Katsir dan yang lainnya. Menurut Ibnu Katsir bahwa Sunan Ibn Majah adalah sebuah kitab yang banyak faedahnya dan baik susunan bab-babnya dalam bidang fiqh[4].
Kitab Sunan Ibnu Majah nampaknya kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan kitab-kitab hadits lainnya seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud. Hal tersebut terlihat dari minimnya kitab syarah tentang Sunan Ibnu majah. Diantara kitab Syarah Sunan Ibnu Majah adalah:
1.      Kitab Syarah yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani (wafat tahun 1138 H ) yakni Syarah Sunan Ibnu Majah. Kitab syarah ini tidak ditulis dengan lengkap, hanya ditulis secara ringkas dan terbatas pada permasalahan yang penting-penting saja. Kitab syarah ini ditulis di bagian pinggir dari kitab Sunan Ibnu Majah.
2.      Misbaah al-Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Kitab Syarah ini ditulis oleh al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuti’ (wafat tahun 911 H). Akan tetapi kitab syarah ini juga sama dengan kitab yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani hanya menguraikan dengan singkat dan terfokus pada permasalahan yang penting saja.
3.      Al-I’Iam bi Sunanihi alaih al-Salam yang ditulis oleh al-Muglata’i (w. 762 H).
4.      Kitab yang ditulis oleh al-Kamaluddin ibn Musa al-Darimi (w. 808 H) yakni Syarah Sunan Ibnu Majah.
5.      Kitab yang ditulis oleh Ibrahim ibn Muhammad al-Halabi yakni Syarah Sunan Ibnu Majah.

D.  Isi Hadits dan Sisitematika Kitab Sunan Ibnu Majah
Kitab hadits ini merupakan karya manumental dari Ibnu Majah yang sampai saat ini masih beredar dan dijadikan pegangan dan kajian. Kitab ini memuat banyak hadits dengan berbagai kualitas hadits. Kitab ini disusun berdasarkan beberapa kitab dan bab. Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi hadits yang terdapat dalam kitab Sunan Ibnu Majah terdapat 4341 buah hadits yang terbagi dengan kualifikasi 37 kitab dan 1515 bab. Sementara itu dalam versi lain yakni oleh al-Zahabi (673-748 H) mengatakan bahwa hadits yang terdapat dalam Kitab Sunan Ibn Majah adalah 4000 hadits yang terbagi dalam 32 Kitab dan 1500 Bab, pendapat serupa pun diungkapkan oleh Abu al-Hasan al-Qattan (334-415 H) dengan mengatakan kitab Sunan Ibnu Majah memuat 32 kitab, 1500 bab dan sekitar 4000 hadits[5].
Dalam pendahuluan Kitab Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi memberikan uraian yang sangat lengkap sebagaimana diikuti oleh Muhammad Mustafa ‘Azami beliau menjelaskan bahwa kitab ini (Kitab Ibn Majah) berisi 4.341 hadits. Dari jumlah hadits tersebut menurutnya sebanyak 3.002 hadits telah dibukukan dan terdapat dalam kitab Kutub Al-Sittah. Dari jumlah tersebut berarti hanya 1.339 hadits yang murni dimiliki dan dikodifikasikan oleh Ibnu Majah dalam kitab sunan-nya.
Sajian yang lebih lengkap diungkapkan oleh Muhammad Mustafa ‘Azamai sebagaimana yang ia kutip dari Fuad Abdul Baqi mengklasifikasikan hadits yang terkodifikasi dalam kitab Ibnu Majah dengan tingkat kualitasnya sebagai berikut:
  • 428 hadits dari 1. 339 hadits termasuk dalam katagori hadits Shahih.
  • 199 hadits dari 1. 339 hadits termasuk dalam katagori hadits Hasan.
  • 613 hadits dari 1. 339 hadits termasuk dalam katagori hadits lemah isnad-nya.
  • 99 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori hadits munkar dan makdzub
Ciri utama dari kitab ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mustafa Azami bahwa Kitab Sunan Ibnu Majah adalah salah satu yang terbaik dilihat dari sistematika penyusunannya yang disusun judul perjudul dan sub-bab dengan sistematika fikih. Hal ini diakui oleh para ulama. Dan kitab ini tidak banyak mengalami pengulangan hadits.
Sistematika penyusunan hadits dalam Kitab Sunan Ibnu Majah[6]
No
NAMA KITAB
JUZ
HLM
-
Al-Muqaddimah
I
3
1.
Al-Taharah
I
9
2.
Al-Shalat
I
219
3.
Al-Azan
I
232
4.
Al-Masajid wa al-Jama’ah
I
234
5.
Al-Iqamah
I
264
6.
Al-Jana’iz
I
461
7.
Al-Siyam
I
525
8.
Al-Zakat
I
565
9.
Al-Nikah
I
592
10.
Al-Talaq
I
650
11.
Al-Kafarat
II
676
12.
Al-Tijarat
II
723
13.
Al-Ahkam
II
774
14.
Al-Had
II
795
15.
Al-Sadaqah
II
799
16.
Al-Ruhun
II
815
17.
Al-Syafa’ah
II
833
18.
Al-Luqatah
II
836
19.
Al-‘Itq
II
840
20.
Al-Hudud
II
847
21.
Al-Diyat
II
873
22.
Al-Wasaya
II
900
23.
Al-Fara’id
II
908
24.
Al-Jihad
II
920
25.
Al-Manasik
II
962
26.
Al-Adhahi
II
1043
27.
Al-Dzaba'ih
II
1056
28.
Al-Shayd
II
1068
29.
Al-At’imah
II
1083
30.
Al-Asyribah
II
1119
31.
Al-Tib
II
1137
32.
Al-Libas
II
1176
33.
Al-Adab
II
1206
34.
Al-Du’a
II
1258
35.
Ta’bir al-Ru’ya
II
1258
36.
Al-Fitan
II
1290
37.
Al-Zuhd
II
1373
Berdasarkan uraian tabel diatas, nampak sekali bahwa Ibnu Majah menyusun hadist-hadits dengan menggunakan sistem tema yakni disusun dengan tema-tema fikih yang dimulai dari tema (kitab) taharah. Yang menarik dari penyusunan tema di atas adalah bahwa Ibnu Majah mengakhirkan kitab zakat setelah kitab puasa dan kitab haji diletakannya jauh setelah kitab jihad. Hal ini kemungkinan Ibnu Majah memandang haji itu lebih dekat dengan jihad demikian juga dengan ibadah-ibadah lainnya. Permasalahan haji nampaknya bagi Ibnu Majah perlu mendapatkan perhatian khusus.[7]
Adapun permasalahan metode penghimpunan hadits-hadits yang dilakukan oleh Ibnu Majah nampaknya tidak dapat diketahui dengan mudah meskipun kita membaca kitab tersebut. Sehingga para ulama melakukan ijtihad tentang metode yang dilakukan oleh Ibnu Majah. Para ulama menduga bahwa kitab hadits yang dikarang oleh Ibnu Majah disusun berdasarkan masalah hukum. Disamping itu juga ia memasukan masalah-masalah lainnya diantaranya tentang masalah zuhud, tafsir dan sebagainya. Dan hadits-hadits yang terdapat dalam kitabnya terdapat hadits yang mursal dengan tidak menyebutkan periwayat ditingkat pertama (sahabat). Hadits semacam itu dalam Kitab Sunan Ibnu Majah terdapat kurang lebih 20 hadits. Sedangkan jika hadits-hadits yang terdapat dalam Kitab Sunan Ibnu Majah dilihat dari segi kualitasnya terdapat berbagai macam-macam hadits: Shahih, hasan bahkan ada yang dha’if, munkar, batil, maudhu’. Hadits-hadits yang dinilai cacad tersebut dalam kitabnya tidak disebutkan sebab atau alasan kenapa Ibnu Majah memasukan hadits tersebut dalam kitabnya.
Dari segi Rijal al-Hadits, Ibnu Majah termasuk ulama yang mudah memasukan rijal al-hadits. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat pendusta seperti Amir Ibn Subh, Muhammad Ibn Said al-Maslub, al-Waqidi dimasukannya dalam kitab Sunan Ibnu Majah. Yang manarik dari kitab Sunan Ibnu Majah adalah kitab ini memuat hadits-hadits yang tidak di jumpai oleh pengarang-pengarang hadits sebelumnya yakni : Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tarmizi dan al-Nasa’i.

E. Kesimpulan
Ibnu Majah memiliki karya besar dalam disiplin ilmu hadis yang berjudul kitab sunan dan dikenal dengan nama Sunan Ibn Majah. Kitab ini dinisbatkan kepada pemiliknya yaitu Sunan Ibn Majah. Sunan Ibn Majah merupakan rujukan hadis yang terakhir dengan sebutan al-Kutubu al-Sittah. Ibnu Thahir al-Maqdisi memandang sunan ini sebagi kitab induk yang keenam. Adapun yang pertama kali menjadikan susunan kitab ini termasuk ke dalam kitab induk yang keenam ialah Ibnu Thahir al-Maqdisy, kemudian diikuti oleh al-hafizh Abd al-Ghany al-Maqdisy dalam kitab al-Ikmal. Dapat kita pahami,  bahwa kitab Sunan Ibn Majah tidak diragukan lagi keotentikannya, walaupun terdapat perbedaaan di antara ulama, tetap saja Kitab ini menjadi rujukan utama dan juga termasuk ke dalam kitab induk yang keenam sebagai kitab rujukan hadis-hadis  dari Rasulullah SAW.
Ibnu Majah adalah seorang yang disepakati tentang kejujurannya dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadis. Pengembaraannya berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yangg cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan teristimewa mengenai hadis dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadis beliau telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya untuk menemui dan berguru hadis kepada ulama-ulama hadis. Perhatian para ulama yang tertuju kepada Ibnu Majah adalah dengan mencurahkan perhatian mereka dari sisi periwayatan, penelitian dan penyalinan sebagaimana kitab yang lain. Penyusunan biografi Ibnu Majah telah terangkum dalam penyusunan biografi para perawi yang telah diakui di dalam al-Kutub al-Sittah.
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibnu Majah terbesar yangg masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah nama Ibnu Majah menjadi terkenal. Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Adapun jumlah hadis yang termuat didalam kitab Sunan Ibn Majah  sebanyak 4341 Hadis, 3002 di antaranya telah termuat di dalam kitab-kitab hadis lainnya, sedangkan 1339 lainnya merupakan tambahan yang tidak terdapat di dalam kitab standar hadis yang lain. Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh yg dikerjakan secara baik dan indah.
Pada akhirnya, walaupun Kitab Sunan Ibn Majah ini mendapatkan kritik dari sejumlah ulama dengan pendapat bahwa dalam kitab ini terdapat hadis mawdhu`, akan tetapi hadis maudhu` tersebut jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan keseluruhan hadis yang tercatat di dalamnya. Selain itu juga, harus diakui bahwa kitab ini telah memberikan konstribusi yang patut disyukuri, karena sampai saat ini, kitab ini masih menjadi sumber acuan bagi mereka yang ingin mendalami dan menelusuri hadis-hadis dengan merujuk kepada kitab tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

‘Azami, Muhammad Mustafa. Studies in Hadith Methodology and Literature. 1977. American Trust Publication.
Abu Suhbah, Muhammad. Fi Rihab al-Kutub al-Tis’ah. 1969. Kairo: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah.
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis. 2009. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
CD Mausu’at al-Hadits al-Syarif.
Ibn Majah, Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid. Sunan Ibn Majah. Terj. Abdullah Shonhaji. 1993.  Semarang : CV Asy Syifa`.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits Cet. II. 1994. Bandung: Angkasa.
Khon, Majid. Ulumul Hadis. 2010. Jakarta : AMZAH.
Suryadilaga, Muhammad Alfatih. Studi Kitab Hadits. 2009. Jakarta: Teras.



[1] Muhammad Abu Suhbah, Fi Rihab al-Kutub al-Tis’ah, hlm. 100.
[2] Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, hlm. 161
[3] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bakti Press, 1994), hlm. 78
[4] Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 254
[5] Muhammad Abu Suhbah, Fi Rihab al-Kutub al-Tis’ah, hlm. 98
[6] Muhammad Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadits (Jakarta: Teras, 2009), hlm. 170-171
[7] Muhammad Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadits (Jakarta: Teras, 2009), hlm. 171